Hari ini aku ngobrol banyak dengan kawan lamaku SMA. Kawanku ini beda dari yang lain, dia sering ngajak diskusi dengan atau tanpa sengaja membahas berbagai hal, mulai dari yang ringan sampai kelas berat. Salah satunya diskusi siang ini.
Semuanya berawal dari aku yang bercerita tentang dosen penguji 2 ku di kampus yang bertanya kepadaku saat ujian proposal penelitian beberapa waktu lalu.
"Habis ini mau menikah ya mbak? Saya lihat kok wajahnya sudah berseri-seri" Pembimbingku yang berada di situ lalu menjawab "S2 bu..." Kemudian penguji 1 juga ikut berkomentar "Setelah lulus mau menikah atau S2, atau menikah sambil S2 bisa ya mbak. Selama ada kemauan pasti bisa."
Aku gak mau cerita tentang dosenku yang berdebat soal itu, kali ini aku mau cerita tentang diskusiku dengan kawanku.
Dia ketawa setelah denger ceritaku itu.
[28/1 10:55] A : Ahahaha.. kamu milih mana? Tapi aku prefer jangan tinggi-tinggi dulu lah sekolahnya.
[28/1 10:56] Aku : Dengan alasan?
[28/1 11:02] A: Nanti gak laku-laku, yang mau nikahin takut.
[28/1 11:07] Aku: Kenapa takut?
[28/1 11:08] A: Mikir-mikir. Karena kami laki2 tau diri. Rata-rata yang berpendidikan tinggi jadi perawan tua. Gak nikah-nikah karena pasti pilih-pilih, jadi kami sebagai kaum laki-laki merasa enggan.
[28/1 11:10] Aku: Terus jadi perempuan harus menurunkan standar gitu? Hanya karena alasan takut gak laku karena terlalu tinggi pendidikannya? Hei dude, never lower your standard. Never.
[28/1 11:10] A: Itu pandanganku pribadi sih. Memang, tapi mawas diri itu lebih penting
[28/1 11:12] Aku: Kenapa hanya perempuan?
[28/1 11:26] A: Karena laki-laki gak ribet. Ingat, ini pandangan pribadiku. Pandanganku ini tapi berdasarkan fenomena di lingkungan yang aku jumpai lo ya, tidak sekadar omong kosong.
[28/1 11:32] Aku: Menurutku, jika masyarakat jawa sering menganalogikan perempuan sebagai barang jualan (re: dodolan), makin tinggi kualitasnya yang beli juga memang orang yang benar-benar mampu membelinya dong. Ya memang mungkin akan lebih lama lakunya karena gak sembarang orang bisa mendapatkan. Analoginya gini, berlian sama krupuk ya memang akan lebih cepet laku krupuk.
Dia ketawa denger argumenku, sebelum dia menjawab dengan argumen lain.
[28/1 11:33] A: Maka dari itu, jangan tinggi-tinggi. Lain halnya berlian gak ada umurnya. semakin tua semakin mahal. Lha kita?
[28/1 11:35] Aku: No no no, aku gak setuju dengan itu.
[28/1 11:37] A: berarti pandanganmu umur gak masalah ya?
[28/1 11:38] Aku: Selagi memang umurmu selama belum/tidak menikah dihabiskan untuk sesuatu yang bermanfaat, why not? kecuali jika umurmu hanya dihabiskan untuk menunggu dilamar orang? Beda loh ini.
[28/1 11:42] A: Berarti seumpama kamu berkarir sampe umur 30 belum nikah. melakukan sesuatu yang bermanfaat. Berarti tidak dikategorikan menunggu? Karena menurutku menunggu tidak melulu harus tidak ngapa-ngapain. Dan biasanya perempuan yang gak nikah-nikah dijadikan bahan gunjingan orang-orang.
[28/1 11:46] Aku: Beda lo melakukan sesuatu yang bermanfaat sembari menunggu, dengan, karena menunggu dia melakukan sesuatu yang bermanfaat. Prioritasnya beda dari kedua kalimat itu.
[28/1 11:48] A: Bedanya gimana? sekalian contohnya-yang konkrit.
[28/1 11:52] Aku: Misal *aku dari awal niat S2 terus kerja, tapi tidak menutup kemungkinan di tengah-tengah ada yang melamarku, selagi cocok ya nikah. Tapi kalo gak ada, ya gak masalah*. Pernyataan itu berbeda dengan, *setelah aku lulus S1 aku gak punya niat S2 karena aku pengen nikah, tapi gak ada yang melamarku, akhirnya aku memutuskan untuk kerja/S2 dulu karena memang gak ada yang ngedeketin/melamarku, makanya aku menyibukkan diri*.
[28/1 12:03] A: Coba hilangkan kemungkinan ada yang melamar, sampe lulus S2 gak ada yang melamar.
[28/1 12:04] Aku: Kan udah aku lanjutin dengan kalimat "tapi kalo gak ada, ya gak masalah". Kalau pun pengen cepet kenapa gak lulus SMA langsung nikah? Kan lebih cepet dibanding nunggu lulus S1, jika memang takaran kesuksesan perempuan hanya dilihat dari "laku atau tidaknya".
[28/1 12:05] A: Tapi, soal kenapa gak lulus SMA aja langsung nikah?! beda dong kalau dia mau berkarir.
[28/1 12:06] Aku: So, S2 S3 apakah tidak termasuk karir buat perempuan?
[28/1 12:07] A: Ya memang karir. tapi umur perlu di perhatikan juga menurutku, karena semakin tua perempuan semakin jarang yang mau. Kan ibaratnya S1 itu prasyarat sekarang untuk mencari kerja yang lumayan enak. Makanya kuliah dulu. Dan selepas S1 pun umur masih sekitar 22/23, masih muda dong? Lha kalo udah S2 lulus paling gak umur 25, udah lumayan tua dong. kecuali kalo emang udah ada yang mau melamar.. baru bisa santai. Lha kalau belum ada? Jelas lama. Kerabatku ada yang sampai sekarang udah hampir 27 padahal cuma S1, masih susah. Gara-gara orangya kaya, laki-laki yang mau ngedeketin takut duluan.
[28/1 12:08] Aku: Simple dong, berarti laki-laki di sekitarnya memang sadar diri kalo gak bisa memenuhi standar perempuan itu, tapi bukan lantas salah perempuannya yang berpendidikan dan kaya dong?! Terus demi bisa segera menikah perempuan harus menurunkan standarnya gitu? Absolutely no, jika sebelum menikah dia sudah bisa hidup layak dengan dirinya sendiri kenapa harus ribet nurunin standar hanya karena laki-laki yang tidak mampu menggapainya?!
[28/1 12: 09] A: Terus?
[28/1 12:10] Aku: Kehidupan perempuan tidak berakhir begitu saja setelah menikah. Jadi, misal gak nikah pun karena dia berpendidikan dan kaya, hal itu bukan sesuatu yg memalukan.
[28/1 12:13] A: Tapi akan timbul pertanyaan *buat apa punya uang banyak tapi gak punya anak dan suami?*
[28/1 12:15] Aku: Kalo masalah anak kan bisa adopsi?!
Dia tertawa, ya aku juga. Untuk jawabanku yang itu aku sedikit tidak serius.
[28/1 12:16] A: Wah, dengan mudahnya adopsi 🤣🤣 yang jelas aku gak setuju perempuan terlalu tinggi pendidikannya sebelum menikah.
[28/1 12:18] Aku: Yaa memang untuk urusan ini kita berbeda pandangan, wajar.
[28/1 12:19] A: Berarti ujung-ujungnya sama-sama jadi perawan tua dong.
[28/1 12:27] Aku: Menurutku selama itu memang pilihan bukan nasib gak masalah, sama halnya dengan "single itu prinsip, jomblo itu nasib". Pasti ada pro-kontra kan, selagi yang menjalani gak masalah, ya orang mau ngomongin sampe mulutnya berbusa juga gak bakal mempan. Paling yang ngomongin bakal capek sendiri, ya kali seumur hidup mau ngomongin "si anu tuh duitnya banyak tapi sayang perawan tua".
[28/1 12:28] A: Emm, Secara nampak sama. Tapi rasanya beda gitu ya intinya?!
[28/1 12:29] Aku: On point!
Kawanku ketawa lagi.
[28/1 12:34] A: iya soalnya aku gak pengen punya istri yang terlalu tinggi titlenya dan karena saya berada di pihak laki-laki 🤣🤣
[28/1 12:35] Aku: Karena kamu bukan feminis makanya kontra.
[28/1 12:36] A: Jangan sampe laki-laki feminis🤣
[28/1 12:38] Aku: Ini nih yang membuat pemikiran konvensional gak berkembang, teriak-teriak kesetaraan gender tapi nyatanya? Preketek sambel ale.
[28/1 12:39] A: Sipp.. ilmu baru
[28/1 12:42] Aku: Tapi wajar sih orang luar ngomongin karena mereka hanya melihat luarnya, padahal belum tentu kan yang gak nikah gak bahagia?! Susahnya hidup di bumi apalagi di desa, nabrak kebiasaan masyarakat dikit dah habis diomongin tetangga 🤣
[28/1 12:43] A: Jelas. Tapi hal itu juga ada manfaatnya loh.
[28/1 12:44] Aku: Iya dong, kehidupan masyarakat jadi ada remnya enggak loosss..
[28/1 12:45] A: Bener banget, baru mau loss dikit udah diomongin. Jadi, gak jadi deh. Tapi, banyak juga loh sufi yang gak nikah 🤣
[28/1 12:46] Aku: Rabiah Al-Adawiyah kan ya gak nikah
[28/1 12:47] A: Imam Syafi'i sepertinya juga enggak
[28/1 12:50] Aku: Nah, seharusnya kamu bisa ngerti dan membedakan dari contoh-contoh orang yang kamu sebutkan ini, bedanya orang yang tidak menikah karena prinsip dengan orang yang tidak menikah karena nasib. Pasti kualitas hidupnya beda.
[28/1 12:51] A: Tapi memang ada beberapa hal yang memang gak bisa dilakuin perempuan loh.
[28/1 12:52] Aku: Apa? Poligami? 🤣
[28/1 12:252] A: Mashookk 🤣🤣
Percakapan itu berhenti dengan kami yang sama-sama tertawa. Mengingatkanku dengan sebuah pernyataan Dr. Fahrudin Faiz dalam Ngaji Filsafat-nya saat membahas 'Feminisme', "Kita hidup di dunia yang dibangun sebagai peradaban laki-laki, oleh karena itu segala sesuatu disetting untuk menyenangkan laki-laki."
Kesimpulannya? Bergantung kalian ingin melihat dari sisi mana. Ini hanya sebuah diskusi kecil antara aku dan kawanku yang sangat mungkin argumen kami sangat subyektif. Masalah tersebut juga sudah sangat banyak dan sering dibahas, setidaknya hal itu yang sampai saat ini masih terus diperjuangkan oleh para feminis.
Teruntuk kalian yang membaca ini, terutama para perempuan hebat, "Bukan berarti yang memilih menikah lebih rendah daripada yang memilih pendidikannya, dan bukan berarti yang memilih pendidikannya tidak memikirkan hari tua bersama orang yang dicintainya. Ketika kita bisa mendapatkan keduanya, kenapa harus memilih salah satu?"
Sonil, menjelang Ashar di desa.
28 Januari 2020 // 15.09 waktu sekitar
No comments:
Post a Comment