Lalu, dia kembali merepotkanku dengan dia yang selalu tampil apa adanya dan selalu berhasil menggagalkan rencanaku untuk tidak rindu. Aku harus memadatkan jadwalku, agar estimasi rindu dia bisa sedikit dipersingkat. Meskipun masih gagal. Atau dia yang selalu gemilang menyelinap di rongga-rongga masa dalam diriku. Aku tahu dia berbakat!
Sampai pada permulaan malam, dia kembali mengusikku dengan menjelma sebagai udara dingin di antara lorong hampa dalam hatiku. Menggetarkan dadaku yang kian sesak menahan segala rasa yang tertahan di ujung tenggorokan. Hingga kalimat sederhana yang ingin ku ucapkan seperti tersekat di ujung lidah yang kian kelu. Aku rindu. Dua kata yang nyatanya tak lebih kompleks dari susunan kata “Ini ibu Budi”, menjadi sekumpulan teks pidato panjang dalam neuron otakku yang kian kusut. Bantu aku menyederhanakannya. Dan terus berlanjut.
Hingga pada suatu ketika. Ketika Tuhan sedang berbahagia-matahari bersinar, angin berhembus dari utara, rumput-rumput nampak seperti taman bunga, gumpalan awan seperti permen kapas, dan laut yang ku lihat kembali biru. “Hei, apa kabar?”. Suaranya kembali membuat bising hari-hariku, setelah meninggalkanku dalam sunyi-lama sekali.
Sonil,
Surabaya, Hari Rabu-Hari Raya Rindu.
22.35/9 Mei 2018
No comments:
Post a Comment