Nonsense

May 10, 2018 - By

Begitulah ia menempatkan dirinya di bagian paling dalam dari diriku. di mana hanya ada segala hal tentang dirinya, seperti dia sedang sengaja. Sampai pada saat-saat aku bukan lagi bagian darinya, terus saja dia mendarah-daging dalam ruang di paling ujung diriku. Dia harus tahu bahwa aku adalah jantung dalam dirinya, yang menghidupi dengan detak dalam detiknya. Tapi masih saja dia tidak tahu bahwa dialah darah dalam tubuhku, yang tak terasa namun diam-diam menghidupi.

Lalu, dia kembali merepotkanku dengan dia yang selalu tampil apa adanya dan selalu berhasil menggagalkan rencanaku untuk tidak rindu. Aku harus memadatkan jadwalku, agar estimasi rindu dia bisa sedikit dipersingkat. Meskipun masih gagal. Atau dia yang selalu gemilang menyelinap di rongga-rongga masa dalam diriku. Aku tahu dia berbakat!

Sampai pada permulaan malam, dia kembali mengusikku dengan menjelma sebagai udara dingin di antara lorong hampa dalam hatiku. Menggetarkan dadaku yang kian sesak menahan segala rasa yang tertahan di ujung tenggorokan. Hingga kalimat sederhana yang ingin ku ucapkan seperti tersekat di ujung lidah yang kian kelu. Aku rindu. Dua kata yang nyatanya tak lebih kompleks dari susunan kata “Ini ibu Budi”, menjadi sekumpulan teks pidato panjang dalam neuron otakku yang kian kusut. Bantu aku menyederhanakannya. Dan terus berlanjut.

Hingga pada suatu ketika. Ketika Tuhan sedang berbahagia-matahari bersinar, angin berhembus dari utara, rumput-rumput nampak seperti taman bunga, gumpalan awan seperti permen kapas, dan laut yang ku lihat kembali biru. “Hei, apa kabar?”. Suaranya kembali membuat bising hari-hariku, setelah meninggalkanku dalam sunyi-lama sekali.


Sonil, 
Surabaya, Hari Rabu-Hari Raya Rindu. 
22.35/9 Mei 2018

No comments:

Post a Comment

About me

Penyuka lampu kota. Tidak suka disuruh. Sayang ibu tapi lebih disayang ibu.